ETIKA GOVERNMENT
1. Pengertian
Etika
Etika berasal dari perkataan yunani
“ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat
diartikan kumpulan dariperaturan-peraturan kesusilaan. Dalam bahasa Latin
dikenal dengan perkataan Mores yang berarti pula kesusilaan, tingkat salah satu
perbuatan lahir 9 perilaku, tingkah laku. Perkataan mores kemudian berubah menjadi
mempunyai arti sama dengan etika atau sebaliknya.
Government dari bahasa Inggris dan
Gouvernment dari bahasa Perancis yang keduanya berasal dari bahasa Latin, yaitu
Gubernaculum, yang berarti kemudi, tetapi diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia menjadi Pemerintah atau Pemerintahan dan terkadang juga menjadi
Penguasa.
Aparatur negara dan pemerintah
mempunyai tugas mendidik rakyat. Mendidik orang lain berarti mendidik diri
sendiri, karena itu, seorang pemimpin/pelaksana negara yang sadar akan kewajibannya
sebagai pendidik, hendaknya berusaha agar :
a.
Dalam hidup
sehari-hari menjadi contoh teladan, panutan bagi umum dan kesusilaan.
b.
Dalam
usahanya sehari-hari selalu memperhatikan kemajuan lahir batin
masyarakatnya.
Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai
dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia disebut
etika pemerintahan.
Selain itu etika pemerintahan juga merupakan bagian
dari praktek yurisprudensiatau filosofi hukum yang
mengatur operasi dari pemerintah dan
hubungannya dengan orang-orang dalam pemerintahan. Prinsip-prinsip etika harus
disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat. Prinsip-prinsip etika yang
bersifat authority, yang bersifat perintah menjadi suatu peraturan sehingga
kadang-kadang merupakan atribut yang tidak bisa dipisahkan.
2. Etika
GovernmentEtika Government yaitu penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan
pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan
dengan pemerintahan. Keuntungan yang paling diharapkan dari e-government adalah
peningkatan efisiensi, kenyamanan, serta aksesibilitas yang lebih baik dari
pelayanan publik. Penggunaan ICT ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk
baru, seperti :
a.
G2C (
government to citizen ),
b.
G2B (
government to business ) dan
c.
G2G ( inter
– agency relationship ).
Bagaimana lembaga-lembaga non-pemerintah memandang
ruang lingkup dan domain dari e-Government. Bank Dunia (World Bank)
mendefinisikan E-Governmentsebagai berikut:
E-Government mengarahkan untuk penggunakan TI oleh
semua agen pemerintahaan (seperti WAN, internet, mobile computing) yang
mempunyai kemampuan untuk mengubah hubungan dengan masyarakat, bisnis, dan
pihak yang terkait dengan pemerintahan.
3.
Tujuan Etika
Government
a.
Memudahkan
warga masyarakat untuk mendapatkan pelayanan public dan untuk
berinteraksi dengan jajaran pemerintah.
b.
Memperbaiki
kepekaan dan respon Pemda terhadap kebutuhan warga.
c.
Meningkatkan
Efisiensi, efektivitas dan accountability dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ketika e-government dapat diimpementasikan dengan
sempurna, tentunya akan memberikan berbagai manfaat dan perubahan, seperti :
1.
Pelayanan
servis yang lebih baik kepada masyarakat.
2.
Peningkatan
hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya
keterbukaan (transparansi)
3.
Pemberdayaan
masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang
mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya.
4.
Pelaksanaan
pemerintahan yang lebih efisien.
5.
Terjadinya
pergeseran dari paradigma birokrasi ke paradigma e-government.
4.
Hambatan
Etika Government
a.
Kultur
berbagi belum ada. Kultur berbagi (sharring) informasi dan mempermudah urusan
belum merasuk di Indonesia.
b.
Kultur
mendokumentasi belum lazim. Salah satu kesulitan besar yang kita hadapi adalah
kurangnya kebiasaan mendokumentasikan (apa saja).
c.
Langkanya
SDM yang handal.
d.
Infrastruktur
yang belum memadai dan mahal. Infrastruktur telekomunikasi Indonesia memang
masih belum tersebar secara merata
e. Tempat akses
yang terbatas.
Contoh kasus dalam penyimpangan GCG :
JAKARTA—Masyarakat Telematika
Indonesia (Mastel) menilai terjadi pelanggaran Good Corporate Governance (GCG) oleh
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kala mengeluarkan (SE) No.
177/BRTI/2011 ke 10 operator telekomunikasi pada medio Oktober
2011.
SE tersebut berisikan himbauan
menghentikan penawaran konten melalui SMS broadcast, pop screen, atau voice
broadcast sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan kemudian.
Analisis :
Layanan SMS premium ini tentunya
sudsh tidak asing lagi bagi kita, dan sudah tidak asing pula bahwa jasa ini memberikan
dampak yang sangat merugikan bagi pengguna telepon seluler. Kerugian yang
didapat tersebut adalah banyak sekali pelanggan yang pulsanya sering habis oleh
ulah para penyelenggara jasa SMS premium tersebut, walaupun pelanggan sudah
menghentikan layanan tersebut tetapi pulsa selalu saja di sedot oleh pihak
penyelenggara jasa tersebut. Hal ini tentu saja merugikan pelanggan yang
membuat keperluannya terhambat karena pulsa yang tiba-tiba habis di ambil oleh
penyelenggara jasa tersebut.
Namun dalam mengatasi hal tersebut
BRTI yang seharusnya menyelesaikan masalah ini kepada pihak penyelenggara jasa
tersebut bukan kepada operator. BRTI juga seharusnya lebih ketat dalam
pengawasan layanan tersebut agar tidak terjadi lagi peristiwa sedot pulsa.
Dalam kasus diatas juga sudah di jelaskan tentang pasal-pasal yang tidak
dilaksanakan sesuai kenyataan. Hal inilah yang membuat BRTI diduga menyimpang
dari Good Corporate Governance (GCG)
“Kami melihat adanya
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh BRTI dengan keluarnya SE
tersebut,” ungkap Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa.
Menurutnya, penyimpangan terkait
dengan Instruksi Peningkatan Kualitas Layanan Jasa Pesan Premium. Menurut Pasal
8 KM No.36/PER/M/KOMINFO/ 10/2008, BRTI hanya dapat menuangkan produk pengaturan
yang sifatnya perintah dalam bentuk Keputusan Dirjen.
Berikutnya tentang indepedensi dan
profesionalitas dimana BRTI
tidak mempertimbangkan secara seksama, bahkan beberapa informasi yang seharusnya bersifat rahasia. BRTI justru melibatkan pihak lain.BRTI tidak jelas dalam mendefinisikan hal-hal yang ingin diaturnya, sehingga berdampak kepada bisnis dan cenderung dapat mematikan bisnis penyedia konten
tidak mempertimbangkan secara seksama, bahkan beberapa informasi yang seharusnya bersifat rahasia. BRTI justru melibatkan pihak lain.BRTI tidak jelas dalam mendefinisikan hal-hal yang ingin diaturnya, sehingga berdampak kepada bisnis dan cenderung dapat mematikan bisnis penyedia konten
Hal lain adalah BRTI tidak melakukan
proses yang transparan kepada para pemangku kepentingan.
Para Penyelenggara Jasa Pesan
Premium yang paling terkena dampak dari penerbitan SE tersebut tidak dilibatkan
dalam pembahasan, termasuk dalam pembahasan revisi PM No. 1/2009 tentang
Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (SMS) ke
banyak tujuan. Penyelenggara Jasa Pesan Premium baru dilibatkan pada saat
proses evaluasi
“Mastel berpendapat bahwa
seharusnya SE BRTI tidak langsung ditujukan kepada operator telekomunikasi
melainkan disampaikan terlebih dahulu kepada Penyelenggara Jasa Layanan Pesan
Premium. Hal ini berdasarkan Pasal 3 PM 01/2009, bahwa Jasa Pesan Premium
diselenggarakan oleh Penyelenggara Jasa Pesan Premium berdasarkan kerja sama
dengan Penyelenggara Jaringan jasa teleponi dasar,” katanya
Solusi
:
Permasalahan yang dihadapi
dalam penerapan GCG yaitu sebagai berikut :
- pemahaman
tentang konsep GCG pada beberapa manajer masih kurang sering.
- sebagian
pihak menganggap konsep GCG sebagai penghambat keputusan perusahaan
- aparat
penegak hukum harus dibekali konsep GCG secara luas
banyak para ahli
yang berpendapat bahwa kelemahan didalam corporate governancemerupakan
salah satu sumber utama kerawanan ekonomi yang
menyebabkan memburuknya perekonomian negara- negara tersebut pada
tahun 1997 dan 1998. Bahkan di Inggris pada akhir dasawarsa 1980an
masalah corporate governance menjadi perhatian publik sebagai
akibatpublisitas masalah-masalah korporat seperti masalah creative
accounting, kebangkrutan perusahaan dalam skala yang sangat
besar, penyalahgunaan dana stakeholders oleh para
manajer, terbatasnya peran auditor, tidak jelasnya kaitan antara
kompensasi ekskutif dengan kinerja perusahaan, merger dan
akuisisi yang merugikan perekonomian secara keseluruhan.
Sumber :
http://rezarezadwirm.blogspot.co.id/2013/11/etika-bisnis-good-corporate-governance.html
http://gabrielsebastian100.blogspot.co.id/2014/10/etika-government.html